Tiga Keranjang (Tipitaka) Kitab Suci Agama Buddha

>
Tiga Keranjang (Tipitaka) Kitab Suci Agama Buddha - Pada pembahasan materi agama Budha kali ini akan membahas mengenai kitab suci umat Budha atau tiga keranjang (Tripitaka) dan juga mengenai Sejarah Penulisan Kitab Suci Tipitaka, Ruang Lingkup Tipitaka yang membahas Vinaya Pitaka, Sutta Vibhanga, Khandhaka, Parivara, Sutta Pitaka, Digha Nikaya, Majjhima Nikaya, Anguttara Nikaya, Samyutta Nikaya, Khuddaka Nikaya, Abhidhamma Pitaka, Dhammasangani, Vibhanga, Dhatukatha, Puggalapannati, Kathavathu, Yamaka, Patthana, untuk lebih jelasnya dapat disimak dalam pembahasan berikut ini!
Tiga Keranjang (Tipitaka) Kitab Suci Agama Buddha
Tiga Keranjang (Tipitaka) Kitab Suci Agama Buddha

Tiga Keranjang (Tipitaka) Kitab Suci Agama Buddha

Keranjang Tata Tertib

  1. Parajika Pali (Pelanggaran besar)
  2. Pacittiya Pali (Pelanggaran kecil)
  3. Mahavagga (Bagian besar)
  4. Cullavagga (Bagian kecil)
  5. Parivara

Keranjang Khotbah

  1. Digha Nikaya (Kumpulan khotbah panjang)
  2. Majjhima Nikaya (Kumpulan khotbah sedang)
  3. Samyutta Nikaya (Kumpulan khotbah pendek)
  4. Anguttara Nikaya (Kumpulan khotbah bertahap)
  5. Khuddaka Nikaya (Kumpulan khotbah campuran)
  • a. Khuddaka Patha (Teks campuran)
  • b. Dhammapada (Jalan Dharma)
  • c. Udana (Ayat-ayat kebangkitan moral)
  • d. Itivuttaka (Demikian dikatakan)
  • e. Suttanipata (Kumpulan khotbah).
  • f. Vimanavatthu (Cerita-cerita istana)
  • g. Petavatthu (Cerita-cerita makhluk halus)
  • h. Theragatha (Ayatayat para bhikkhu)
  • i. Therigatha (Ayatayat para bhikkhuni)
  • j. Jataka (Cerita kelahiran)
  • k. Niddesa (Penjelasan terperinci)
  • l. Patisambhida Magga (Arah pengetahuan analisis)
  • m. Apadana (Kehidupan orang suci)
  • n. Buddhavamsa (Sejarah Buddha)
  • Cariya Pitaka (Keranjang perilaku)

Keranjang Analisa

  1. Dhammasangani (Klasifikasi fenomena)
  2. Vibhanga (Pembagian)
  3. Dhatukatha (Khotbah tentang unsur-unsur)
  4. Puggala Pannati (Macam-macam manusia)
  5. Kathavatthu (Butir-butir perbedaan)
  6. Yamaka (Kitab-kitab berpasangan
  7. Patthana (Hubungan-hubungan sebab akibat)

A. Sejarah Penulisan Kitab Suci Tipitaka

Jika bicara tentang sejarah penulisan kitab suci Tipitaka (kitab suci agama Buddha), maka tidak terlepas dengan peristiwa Sidang Agung Sangha (Sangha Samaya). Adapun hal yang melatarbelakangi Sidang Agung Sangha yaitu menyangkut kehidupan Bhikkhu Subhaddha.

Setelah Buddha wafat (543 SM), seorang Bhikkhu tua yang bernama Subhaddha berkata: ”Janganlah bersedih kawan-kawan, janganlah meratap, sekarang kita terbebas dari Pertapa Agung yang tidak akan lagi memberitahu kita apa yang sesuai untuk dilakukan dan apa yang tidak, yang membuat hidup kita menderita, tetapi sekarang kita dapat berbuat apa pun yang kita senangi dan tidak berbuat apa yang tidak kita senangi” (Vinaya Pitaka II,284).

Setelah mendengar kata-kata itu Maha Kassapa Thera memutuskan untuk mengadakan Sidang Agung Sangha I di Rajagaha dengan bantuan Raja Ajatasattu dari Magadha. Lima ratus orang Arahat berkumpul di Gua Sattapanni dekat Rajagaha untuk mengumpulkan ajaran Buddha yang telah dibabarkan selama ini dan menyusunnya secara sistematis. Bhikkhu Ananda, siswa terdekat Buddha, mendapat kehormatan untuk mengulang kembali khotbah-khotbah Buddha (Dhamma) dan Yang Ariya Upali mengulang peraturan-peraturan kedisiplinan (Vinaya). Dalam Pesamuan Agung I inilah dikumpulkan seluruh ajaran Buddha yang dikenal dengan sebutan Dhamma dan Vinaya.
Seorang Bhikkhu yang sedang menerima kitab suci
Seorang Bhikkhu yang sedang menerima kitab suci

Hasil Sidang Sangha I yaitu Sangha tidak menetapkan hal-hal yang perlu dihapus dan hal-hal yang harus dilaksanakan, juga tidak akan menambah yang telah ada. Dalam sidang ini juga dibahas kesalahan Yang Ariya Ananda dan pengucilan Bhikkhu Chana.

Pada mulanya ajaran Buddha ini diwariskan secara lisan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Satu abad kemudian terdapat sekelompok Bhikkhu yang berniat hendak mengubah Vinaya. Menghadapi usaha ini, para Bhikkhu yang ingin mempertahankan Dhamma dan Vinaya sebagaimana diwariskan oleh Buddha Gotama menyelenggarakan Sidang Agung Sangha II (443 SM) dengan bantuan Raja Kalasoka di Vesali. Sidang ini dipimpin oleh Bhikkhu Yasa Thera, Revata Thera, dan Subhakami Thera dan dihadiri oleh 700 Arahat. Dalam Sidang Agung Sangha II ini, kelompok Bhikkhu yang memegang teguh kemurnian Dhamma dan Vinaya ini menamakan diri Sthaviravada, yang kelak disebut Theravãda.

Sedangkan kelompok Bhikkhu yang ingin mengubah Vinaya menamakan diri Mahasanghika, yang kelak berkembang menjadi mazhab Mahayana. Jadi, seabad setelah Buddha Gotama wafat, Agama Buddha terbagi menjadi 2 mazhab besar Theravãda dan Mahayana.

Hasil Sidang Agung Sangha II yaitu membahas kesalahan Bhikkhu Vajjiputtaka yang melanggar Pacittiya. Sekelompok Bhikkhu Vajjiputtaka akhirnya memisahkan diri dengan menamakan diri sebagai Mahasangika dan mengadakan sidang sendiri. Kelompok yang masih sejalan dengan Dhamma-Vinaya dikenal dengan nama Sthaviravada.

Sidang Agung Sangha III (249 SM) diadakan di Pattaliputta (Patna) pada abad ketiga sesudah Buddha wafat di bawah pemerintahan Kaisar Ashoka Wardhana. Kaisar ini memeluk Agama Buddha dan dengan pengaruhnya banyak membantu penyebaran ajaran Buddha ke seluruh wilayah kerajaan. Pada masa itu, ribuan gadungan (penyelundup ajaran gelap) masuk ke dalam Sangha dangan maksud menyebarkan ajaran-ajaran mereka sendiri untuk menyesatkan umat.

Untuk mengakhiri keadaan ini, Kaisar menyelenggarakan Pesamuan Agung dan membersihkan tubuh Sangha dari penyelundup-penyelundup serta merencanakan pengiriman para Duta Dhamma ke negeri-negeri lain. Dalam Pesamuan Agung Ketiga ini seratus orang Arahat mengulang kembali pembacaan Kitab Suci Tipitaka (Pali) selama sembilan bulan. Dari titik tolak Pesamuaan inilah Agama Buddha dapat tersebar ke suluruh penjuru dunia dan terhindar lenyap dari bumi asalnya.

Hasil Sidang Agung Sangha III yaitu, Sangha dibersihkan dari bhikkhu-bhikkhu yang ceroboh. Ajaran Abhidhamma (Katthavatthu Pakarana) diulang oleh Tissa sehingga lengkaplah Tipitaka (Vinaya, Sutta, dan Abhidhamma); serta Raja Asoka melakukan misionari Buddhis dengan menyebarkan sekte Vibhajjavadin (subsekte Sthaviravada) ke Sembilan Negara termasuk Srilanka dengan mengirim putranya yaitu Bhikkhu Mahinda Thera, kemudian putrinya yang bernama Sanghamitta.

Sidang Agung Sangha IV (83 SM) diadakan di Aluvihara (Srilanka) di bawah lindungan Raja Vattagamani Abhaya pada permulaan abad keenam sesudah Buddha wafat. Pada kesempatan itu kitab suci Tipitaka (Pali) dituliskan untuk pertama kalinya di atas daun lontar.

Perlu dicatat pula bahwa pada abad pertama Masehi, Raja Kaniska dari Afganistan mengadakan Pesamuan Agung yang tidak dihadiri oleh kelompok Theravãda. Bertitik tolak pada Pesamuan ini, Agama Buddha mazhab Mahayana berkembang di India dan kemudian menyebar ke negeri Tibet dan Tiongkok. Pada Pasamuan ini disepakati adanya kitab-kitab suci Buddhis dalam Bahasa Sanskerta dengan banyak tambahan sutra-sutra baru yang tidak terdapat dalam Kitab Suci Tipitaka (Pali).

Selanjutnya Sidang Agung Sangha V diadakan di Mandalay (Burma) pada permulaan abad 25 sesudah Buddha wafat (1871) dengan bantuan Raja Mindon. Kejadian penting pada waktu itu adalah Kitab Suci Tipitaka (Pali) diprasastikan pada 727 buah lempengan marmer (batu pualam) dan diletakkan di bukit Mandalay.

Sidang Agung Sangha VI diadakan di Rangoon pada hari Visakha Puja tahun Buddhis 2498 dan berakhir pada tahun Buddhis 2500 (tahun Masehi 1956). Sejak saat itu penerjemahan kitab suci Tipitaka (Pali) dilakukan ke dalam beberapa bahasa Barat.

Dengan demikian, Agama Buddha mazhab Theravãda dalam pertumbuhannya sejak pertama sampai sekarang, termasuk di Indonesia, tetap mendasarkan penghayatan dan pembabaran Dhamma-Vinaya pada kemurnian kitab suci Tipitaka (Pali) sehingga tidak ada perbedaan dalam hal ajaran antara Theravãda di Indonesia dengan Theravada di Thailand, Srilanka, Burma maupun di negara-negara lain.

Sampai abad ketiga setelah Buddha wafat mazhab Sthaviravada terpecah menjadi 18 sub mazhab, antara lain: Sarvastivada, Kasyapiya, Mahisasaka, Theravãda dan sebagainya. Pada dewasa ini 17 sub mazhab Sthaviravada itu telah lenyap. Mazhab yang masih berkembang sampai sekarang hanyalah mazhab Theravãda (ajaran para sesepuh). Dengan demikian nama Sthaviravada tidak ada lagi. Mazhab Theravãda inilah yang kini dianut oleh negara-negara Srilanka, Burma, Thailand, dan kemudian berkembang di Indonesia dan negara-negara lain.

B. Ruang Lingkup Tipitaka

Kitab suci agama Buddha disebut Tipitaka. Tipitaka artinya tiga keranjang/kelompok ajaran yaitu meliputi Vinaya Pitaka, Sutta Pitaka, dan Abhidhamma Pitaka.
Skema Tipitaka
Skema Tipitaka

1. Vinaya Pitaka

Vinaya berarti peraturan, disiplin atau tata tertib. Jadi Vinaya Pitaka adalah kelompok ajaran Buddha yang berisi peraturan-peraturan kedisiplinan para bhikkhu dan bhikkhuni. Peraturan-peraturan ini ditetapkan oleh Buddha tidak sekaligus dan menyeluruh, melainkan sesuai dengan timbulnya masalah-masalah baru.

Dari sejarah penyusunan Tipitaka terlihat bahwa setelah Tipitaka ditulis pada abad pertama sebelum Masehi di Aluha-Vihara, Srilanka, Kitab Suci Vinaya Pitaka merupakan bagian yang tidak terpisahkan dengan Kitab Suci Tipitaka dalam versi bahasa Pali yang tidak berubah sampai sekarang. Vinaya Pitaka terdiri atas lima (5) kitab, yaitu dapat dilihat pada skema di bawah ini:
Pembagian Vinaya Pitaka
Pembagian Vinaya Pitaka

Vinaya Pitaka terdiri atas 21.000 pokok Dharma. Untuk dapat mempelajari dan memahami Vinaya Pitaka, kelima kitab Vinaya itu oleh pakar Vinaya disusun menjadi 3 bagian, yaitu: Sutta Vibhanga, Khandhaka, terdiri atas dua kitab: Mahavagga dan Cullavagga; dan Parivara.

a. Sutta Vibhanga
Sutta Vibhanga terdiri atas dua kitab yaitu Maha Vibhanga dan Cula Vibhanga. Maha Vibhanga disebut juga Bhikkhu Vibhanga, 227 peraturan latihan yang menjadi sumber Patimokkha-sila. Peraturan latihan ini tidak diberikan sekaligus, tetapi setelah terjadi kasus demi kasus yang menyangkut perilaku para bhikkhu yang dicela oleh para bijaksana.

Secara garis besar Bhikkhu Vibhanga yang berisi 227 peraturan itu terbagi menjadi beberapa bagian, sebagai berikut:
  1. Parajika : 4 peraturan
  2. Sanghadisesa : 13 peraturan
  3. Aniyata : 2 peraturan
  4. Nissagiya Pacittiya : 30 peraturan
  5. Pacittiya : 92 peraturan
  6. Patidesaniya : 4 peraturan
  7. Sekhiyadhamma : 75 peraturan
  8. Adhikaranasamatha : 7 peraturan
Sementara itu, Bhikkhuni Vibhanga berisi 311 peraturan untuk bhikkhuni, yaitu:
  1. Parajika : 8 peraturan
  2. Sanghadisesa : 17 peraturan
  3. Nissagiya Pacittiya : 30 peraturan
  4. Pacittiya : 116 peraturan
  5. Patidesaniya : 8 peraturan
  6. Sekhiyadhamma : 75 peraturan
  7. Adhikaranasamatha : 7 peraturan
b. Khandhaka
Khandhaka terdiri atas Mahavagga dan Cullavagga. Mahavagga berisi: aturan memasuki sangha; upacara uposattha; peraturan tempat tinggal selama musim hujan (vassa); upacara penutupan musim hujan pada akhir vassa (pavarana); peraturan mengenai pakaian dan perobatan hidup bhikkhu; obat-obatan dan makanan; upacara pemberiaan jubah, dan pembagian jubah tahunan; peraturan mengenai bahan jubah, aturan tidur dan bhikkhu yang sakit; tata cara melaksanakan keputusan sangha (sangha kamma); dan tata cara menyelesaikan perselisihan dalam sangha.
Bhikkhu sedang mencari Tipitaka
Bhikkhu sedang mencari Tipitaka

Cullavagga berisi: peraturan-peraturan untuk menangani pelanggaran-pelanggaran yang dihadapkan kepada sangha; tata cara penerimaan kembali seorang bhikkhu ke dalam sangha setelah melakukan pembersihan atas pelanggaran; tata cara menangani masalah-masalah yang timbul; berbagai peraturan yang mengatur cara mandi, mengenakan jubah; tempat tinggal, peralatan, tempat bermalam; perpecahan; perlakuan kepada berbagai kelompok bhikkhu, kewajiban-kewajiban guru (acariya) dan samanera; pengucilan dari upacara pembacaan patimokkha; petahbisan dan bimbingan/petunjuk bagi para bhikkhuni; kisah mengenai pasamuan Agung pertama di Rajagaha; dan kisah mengenai pesamuan Agung ke dua di Vesali.

c. Parivara
Parivara memuat rangkuman dan pengelompokan peraturan-latihan dalam
Vinaya yang disusun dalam bentuk tanya jawab untuk tujuan memberikan petunjuk
dan pemeriksaan.

2. Sutta Pitaka

Sutta Pitaka terdiri atas 21.000 pokok Dharma, dibagi menjadi 5 kumpulan, yaitu Digha Nikaya, Majjhima Nikaya, Anguttara Nikaya, Samyutta Nikaya, dan Khudaka Nikaya.
a. Digha Nikaya
Digha Nikaya merupakan kumpulan khotbah yang panjang. Ada 34 khotbah yang panjang, antara lain:
  1. Brahmajala Sutta : khotbah tentang 62 pandangan salah;
  2. Samanaphala Sutta : khotbah tentang buah kehidupan seorang petapa;
  3. Sigalovada Sutta : khotbah tentang kehidupan sehari-hari berumah tangga (antara lain tentang hak dan kewajiban)
  4. Mahasatipatthana Sutta : khotbah tentang tuntunan untuk vipassana;
  5. Mahaparinibbana Sutta : khotbah kisah hari-hari terakhir Buddha.
b. Majjhima Nikaya
Majjhima Nikaya berarti khotbah menengah (tidak panjang dan tidak pendek), terdapat 152 sutta, antara lain:
  1. Ratthapala Sutta : khotbah yang berkaitan dengan putra brahmana yang kaya yang kemudian menjadi bhikkhu dan akhirnya mencapai Arahat;
  2. Vasettha Sutta : khotbah tentang bukan karena kelahiran seseorang menjadi sampah atau brahmana, tetapi karena karma (perbuatan) seseorang menjadi sampah atau brahmana;
  3. Angulimala Sutta : khotbah yang mengisahkan seorang pembunuh yang kejam kemudian menjadi siswa Buddha, dan akhirnya mencapai Arahat;
  4. Anapanasati Sutta : khotbah tentang metode meditasi dengan objek keluarmasuknya nafas;
  5. Kayagatasati Sutta : khotbah tentang perenungan 32 bagian tubuh.
c. Anguttara Nikaya
Anguttara Nikaya: Khotbah yang disusun menurut urutan bernomor untuk memudahkan pengingatan, terdiri atas sebelas bagian (Nipata) dan 9.557 sutta.

d. Samyutta Nikaya
Samyutta Nikaya: Khotbah yang berhubungan atau dikelompokkan, terdiri atas 5 vagga utama, 56 bagian, dan 7.762 sutta

e. Khuddaka Nikaya
Khuddaka Nikaya adalah kumpulan khotbah pendek, terdiri atas 15 kitab:
  1. Kuddhaka patha : bacaan-bacaan minor;
  2. Dhammapada : kata-kata Dharma, prinsip ajaran Buddha yang penting;
  3. Udana : uangkapan kegembiraan;
  4. Itivuttaka : syair-syair pendek yang dimulai dengan ‘demikian dikatakan’;
  5. Suttanipata : terdiri atas 54 prosa dan 16 sutta;
  6. Vimana-vathu : cerita tentang kediaman di surga;
  7. Peta-vatthu : cerita tentang kelahiran di alam peta;
  8. Thera-gatha : syair tentang para bhikkhu senior;
  9. Theri-gatha : syair tetang para bhikkhuni senior;
  10. Jataka : cerita tentang kelahiran lalu Buddha;
  11. Niddesa : terbagi 2 buku (cullaniddesa dan mahaniddesa);
  12. Patisambida-magga : uraian sistematik tentang jalan untuk mencapai kesucian;
  13. Apadana : riwayat para bhikkhu-bhikkhuni;
  14. Buddha-vamsa : riwayat para Buddha;
  15. Cariya-pitaka : cerita kehidupan Buddha yang terdahulu dalam bentuk syair berkaitan dengan paramita

3. Abhidhamma Pitaka

Abhidhamma Pitaka adalah bagian dari kitab suci agama Buddha yang memuat filsafat, seperti ilmu jiwa, logika, etika, dan metafisika. Dalam Abhidhamma Pitaka terdapat 42.000 pokok Dharma, berisi ajaran tertinggi/halus. Gaya bahasa dalam kitab suci Abhidhamma Pitaka bersifat sangat teknis dan dan analitis, berbeda dengan gaya bahasa dalam kitab Sutta Pitaka dan Vinaya Pitaka yang bersifat naratif, sederhana dan mudah dimengerti.
Rak Tipitaka
Rak Tipitaka

Abhidhamma Pitaka terbagi menjadi tujuh kitab, yaitu:
a). Dhammasangani : menguraikan etika/hakikat batin;
b). Vibhanga : menguraikan buku Dhammasangani dengan metode yang berbeda;
c). Dhatukatha : menguraikan unsur batin;
d). Puggalapannati : menguraikan pannati, puggala dan paramattha
e). Kathavathu : menguraikan paramattha dalam bentuk tanya jawab tentang percakapan dan sanggahan terhadap pandangan salah yang berhubungan dengan teologi dan metafisika;
f). Yamaka : menguraikan paramattha secara berpasangan;
g). Patthana : menguraikan 24 sebab/hubungan antara batin dan jasmani.

Rangkuman

Wujud kitab suci agama Buddha tidak sama dengan kitab suci agama-agama lainnya. Umumnya kitab suci hanya berbentuk satu buah kitab, sedangkan wujud kitab suci agama Buddha terdiri atas puluhan kitab yang dibagi menjadi tiga bagian yaitu Vinaya Pitaka, Sutta Pitaka, dan Abhidhamma Pitaka. Vinaya Pitaka adalah bagian kitab suci agama Buddha yang berisi peraturan-peraturan kedisiplinan para siswa Buddha. Sutta Pitaka adalah kelompok ajaran Buddha yang berisi khotbah-khotbah Buddha atau para siswa utama Buddha. Bagian ketiga yaitu Abhidhamma Pitaka adalah berisi ajaran-ajaran Buddha yang tinggi berupa filsafat dan ilmu jiwa agama Buddha.

Renungan

Biarpun seseorang banyak membaca kitab suci, tetapi tidak berbuat sesuai dengan Ajaran, maka orang yang lengah itu sama seperti gembala sapi yang menghitung sapi milik orang lain; ia tak akan memperoleh manfaat kehidupan suci.

Biarpun seseorang banyak membaca kitab suci, tetapi berbuat sesuai dengan Ajaran, menyingkirkan nafsu indra, kebencian dan ketidaktahuan, memiliki pengetahuan benar dan batin bebas dari nafsu, tidak melekat pada apa pun baik di sini maupun di sana; maka ia akan memperoleh manfaat kehidupan suci. (Dhammapada 19-20)

Sekian pembahasan mengenai Tiga Keranjang (Tipitaka) Kitab Suci Agama Buddha dan juga mengenai Sejarah Penulisan Kitab Suci Tipitaka, Ruang Lingkup Tipitaka yang membahas Vinaya Pitaka, Sutta Vibhanga, Khandhaka, Parivara, Sutta Pitaka, Digha Nikaya, Majjhima Nikaya, Anguttara Nikaya, Samyutta Nikaya, Khuddaka Nikaya, Abhidhamma Pitaka, Dhammasangani, Vibhanga, Dhatukatha, Puggalapannati, Kathavathu, Yamaka, Patthana, semoga dapat dipahami, selamat belajar!

0 komentar

Posting Komentar